Monday, May 12, 2025

Membaca Peta Jalan Pendidikan Indonesia


Membaca Peta Jalan Pendidikan Indonesia

                                                            Bambang Aribowo

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan nasional tidak hanya bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, tetapi juga berperan sebagai instrumen strategis dalam mencetak generasi yang berkarakter, berdaya saing global, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.

Ketika kita menelaah implementasi Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang dicanangkan untuk tahun 2025-2045, muncul sejumlah persoalan fundamental yang mengindikasikan bahwa bangsa ini tengah mengalami disorientasi arah dalam pengelolaan sistem pendidikannya. Ibarat pengelana yang kehilangan kompas, kebijakan pendidikan kita tampaknya berjalan tanpa arah yang konsisten dan berkelanjutan, sehingga dapat dikatakan kita "tersesat" di peta jalan yang kita buat sendiri.

Ketiadaan Arah Filosofis yang Konsisten

Salah satu aspek paling mendasar yang menunjukkan ketersesatan ini adalah tidak konsistennya pijakan filosofis dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pancasila, yang seharusnya menjadi dasar ideologis dan moral sistem pendidikan nasional, justru cenderung terpinggirkan dalam narasi besar peta jalan tersebut.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam beberapa dokumen resminya lebih menonjolkan jargon-jargon seperti "Deep Learning", dan "Pembelajaran Koding", tetapi minim dalam merujuk nilai-nilai dasar seperti gotong royong, keadilan sosial, dan kebhinekaan yang merupakan esensi dari Pancasila.

Akibatnya, kebijakan yang lahir lebih berorientasi pada capaian-capaian pragmatis semata, seperti skor PISA (Programme for International Student Assessment) dan indeks literasi numerasi, daripada pembentukan karakter bangsa. Ini menciptakan jurang yang lebar antara visi pendidikan dengan realitas sosial bangsa yang kompleks dan majemuk. Hal ini tentu berbahaya karena mengaburkan tujuan utama pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan pemanusiaan manusia Indonesia seutuhnya.

Sentralisasi Kebijakan dan Kemandulan Kontekstualisasi

Peta jalan pendidikan juga menunjukkan kecenderungan kuat pada sentralisasi kebijakan yang mengabaikan keragaman konteks lokal. Pemerintah pusat menetapkan standar yang seragam dari Sabang hingga Merauke, seolah seluruh peserta didik memiliki latar belakang, kebutuhan, dan kondisi sosial-ekonomi yang homogen. Dalam praktiknya, hal ini mengakibatkan kebijakan yang tidak sensitif terhadap persoalan struktural dan kultural yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah terpencil, perbatasan, maupun wilayah konflik.

Alih-alih memberdayakan otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan, peta jalan tersebut justru memperkuat posisi negara sebagai aktor tunggal dalam penentuan arah dan isi kurikulum. Padahal, sesuai dengan semangat desentralisasi pendidikan yang diamanatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan seharusnya melibatkan pemerintah daerah, komunitas lokal, dan bahkan masyarakat adat untuk menjamin keberlangsungan nilai-nilai lokal dalam proses pembelajaran.

 

Komersialisasi Pendidikan dan Ketimpangan Akses

Fenomena lainnya yang mencerminkan disorientasi peta jalan pendidikan Indonesia adalah meningkatnya komersialisasi pendidikan. Pendidikan telah bertransformasi menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai hak dasar warga negara. Ini tampak dari menjamurnya sekolah-sekolah swasta elit dengan biaya fantastis yang hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi atas, sementara mayoritas rakyat masih bergelut dengan kualitas pendidikan publik yang minim sumber daya dan fasilitas.

Kebijakan zonasi atau sekarang disebut Domisili dan digitalisasi pembelajaran, meskipun berniat meratakan akses, sering kali justru memperdalam jurang ketimpangan. Di satu sisi, sekolah-sekolah unggulan di perkotaan semakin memperkuat posisinya sebagai institusi eksklusif. Di sisi lain, sekolah-sekolah di pelosok masih harus berjuang dengan keterbatasan infrastruktur, kekurangan guru, dan akses internet yang buruk. Peta jalan yang tidak secara eksplisit menjadikan keadilan sosial sebagai poros utama justru memperkuat logika pasar dalam pendidikan.

Krisis Identitas dan Lemahnya Pembinaan Karakter

Ironisnya, dalam semangat globalisasi yang diusung peta jalan, identitas kebangsaan peserta didik justru mengalami degradasi. Pendidikan karakter yang sempat menjadi program unggulan melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), kini seolah kehilangan tempatnya dalam kurikulum. Tuntutan untuk mengejar literasi dan numerasi telah menyisihkan ruang bagi pembentukan nilai seperti integritas, toleransi, dan cinta tanah air.

Hal ini tercermin dalam meningkatnya perilaku intoleran, kekerasan di lingkungan sekolah, dan lemahnya sikap empati sosial di kalangan remaja. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang peradaban justru menjadi tempat reproduksi kekosongan nilai. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita mengalami krisis identitas, di mana peserta didik tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan akar budaya, sejarah, dan nasionalisme Indonesia.

Rekomendasi: Membaca Ulang Peta Jalan dengan Kacamata Kritis

Agar tidak terus-menerus tersesat, maka diperlukan pembacaan ulang terhadap peta jalan pendidikan nasional dengan pendekatan kritis dan reflektif. Pertama, perlu dilakukan reorientasi filosofi pendidikan yang secara eksplisit berakar pada nilai-nilai Pancasila. Artikulasi nilai luhur bangsa harus menjadi fondasi dari setiap kebijakan, bukan sekadar slogan formal.

Kedua, otonomi lokal dalam pengembangan kurikulum dan kebijakan pendidikan harus diperluas, agar pendidikan benar-benar kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Ketiga, negara harus kembali menegaskan perannya sebagai pelindung hak pendidikan rakyat, bukan sebagai fasilitator pasar. Ini dapat diwujudkan melalui alokasi anggaran pendidikan yang lebih merata dan berkeadilan.

Keempat, penguatan pendidikan karakter perlu dilakukan bukan sekadar melalui muatan pelajaran moral, tetapi melalui integrasi nilai dalam seluruh proses pembelajaran, interaksi sosial, dan ekosistem sekolah. Guru harus diberdayakan sebagai agen transformasi nilai, bukan sekadar pelaksana administratif kurikulum.

Penutup

Pendidikan Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus melangkah dalam kabut kebijakan yang tidak menentu arah, ataukah kita akan berhenti sejenak untuk meninjau ulang peta jalan yang kita buat? Menyusun ulang arah pendidikan bangsa adalah sebuah keniscayaan apabila kita ingin membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan kokoh dalam jati diri kebangsaan. Jangan sampai, di tengah semangat perubahan, kita justru tersesat dalam peta jalan yang tak lagi mengenali arah tujuannya sendiri.

No comments:

Post a Comment

Di hari lahirmu, Pancasila

                                                         Di hari lahirmu, Pancasila                                                         ...