Membaca
Peta Jalan Pendidikan Indonesia
Bambang
Aribowo
Pendidikan
merupakan fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam konteks
Indonesia, sistem pendidikan nasional tidak hanya bertugas mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, tetapi juga berperan
sebagai instrumen strategis dalam mencetak generasi yang berkarakter, berdaya
saing global, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.
Ketika
kita menelaah implementasi Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang
dicanangkan untuk tahun 2025-2045, muncul sejumlah persoalan fundamental yang
mengindikasikan bahwa bangsa ini tengah mengalami disorientasi arah dalam
pengelolaan sistem pendidikannya. Ibarat pengelana yang kehilangan kompas,
kebijakan pendidikan kita tampaknya berjalan tanpa arah yang konsisten dan
berkelanjutan, sehingga dapat dikatakan kita "tersesat" di peta jalan
yang kita buat sendiri.
Ketiadaan Arah Filosofis
yang Konsisten
Salah
satu aspek paling mendasar yang menunjukkan ketersesatan ini adalah tidak
konsistennya pijakan filosofis dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pancasila,
yang seharusnya menjadi dasar ideologis dan moral sistem pendidikan nasional,
justru cenderung terpinggirkan dalam narasi besar peta jalan tersebut.
Kementerian
Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam beberapa dokumen resminya
lebih menonjolkan jargon-jargon seperti "Deep Learning", dan "Pembelajaran
Koding", tetapi minim dalam merujuk nilai-nilai dasar seperti gotong
royong, keadilan sosial, dan kebhinekaan yang merupakan esensi dari Pancasila.
Akibatnya,
kebijakan yang lahir lebih berorientasi pada capaian-capaian pragmatis semata,
seperti skor PISA (Programme for International Student Assessment) dan indeks
literasi numerasi, daripada pembentukan karakter bangsa. Ini menciptakan jurang
yang lebar antara visi pendidikan dengan realitas sosial bangsa yang kompleks
dan majemuk. Hal ini tentu berbahaya karena mengaburkan tujuan utama pendidikan
sebagai sarana pembudayaan dan pemanusiaan manusia Indonesia seutuhnya.
Sentralisasi Kebijakan
dan Kemandulan Kontekstualisasi
Peta
jalan pendidikan juga menunjukkan kecenderungan kuat pada sentralisasi
kebijakan yang mengabaikan keragaman konteks lokal. Pemerintah pusat menetapkan
standar yang seragam dari Sabang hingga Merauke, seolah seluruh peserta didik
memiliki latar belakang, kebutuhan, dan kondisi sosial-ekonomi yang homogen.
Dalam praktiknya, hal ini mengakibatkan kebijakan yang tidak sensitif terhadap
persoalan struktural dan kultural yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah
terpencil, perbatasan, maupun wilayah konflik.
Alih-alih
memberdayakan otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan, peta jalan tersebut
justru memperkuat posisi negara sebagai aktor tunggal dalam penentuan arah dan
isi kurikulum. Padahal, sesuai dengan semangat desentralisasi pendidikan yang
diamanatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
penyelenggaraan pendidikan seharusnya melibatkan pemerintah daerah, komunitas
lokal, dan bahkan masyarakat adat untuk menjamin keberlangsungan nilai-nilai
lokal dalam proses pembelajaran.
Komersialisasi Pendidikan
dan Ketimpangan Akses
Fenomena
lainnya yang mencerminkan disorientasi peta jalan pendidikan Indonesia adalah
meningkatnya komersialisasi pendidikan. Pendidikan telah bertransformasi
menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai hak dasar warga negara.
Ini tampak dari menjamurnya sekolah-sekolah swasta elit dengan biaya fantastis
yang hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi atas, sementara
mayoritas rakyat masih bergelut dengan kualitas pendidikan publik yang minim
sumber daya dan fasilitas.
Kebijakan
zonasi atau sekarang disebut Domisili dan digitalisasi pembelajaran, meskipun
berniat meratakan akses, sering kali justru memperdalam jurang ketimpangan. Di
satu sisi, sekolah-sekolah unggulan di perkotaan semakin memperkuat posisinya
sebagai institusi eksklusif. Di sisi lain, sekolah-sekolah di pelosok masih
harus berjuang dengan keterbatasan infrastruktur, kekurangan guru, dan akses
internet yang buruk. Peta jalan yang tidak secara eksplisit menjadikan keadilan
sosial sebagai poros utama justru memperkuat logika pasar dalam pendidikan.
Krisis Identitas dan
Lemahnya Pembinaan Karakter
Ironisnya,
dalam semangat globalisasi yang diusung peta jalan, identitas kebangsaan
peserta didik justru mengalami degradasi. Pendidikan karakter yang sempat
menjadi program unggulan melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),
kini seolah kehilangan tempatnya dalam kurikulum. Tuntutan untuk mengejar
literasi dan numerasi telah menyisihkan ruang bagi pembentukan nilai seperti
integritas, toleransi, dan cinta tanah air.
Hal
ini tercermin dalam meningkatnya perilaku intoleran, kekerasan di lingkungan
sekolah, dan lemahnya sikap empati sosial di kalangan remaja. Pendidikan yang
seharusnya menjadi ruang peradaban justru menjadi tempat reproduksi kekosongan
nilai. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita mengalami krisis identitas, di
mana peserta didik tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan akar budaya, sejarah,
dan nasionalisme Indonesia.
Rekomendasi: Membaca
Ulang Peta Jalan dengan Kacamata Kritis
Agar
tidak terus-menerus tersesat, maka diperlukan pembacaan ulang terhadap peta
jalan pendidikan nasional dengan pendekatan kritis dan reflektif. Pertama,
perlu dilakukan reorientasi filosofi pendidikan yang secara eksplisit berakar
pada nilai-nilai Pancasila. Artikulasi nilai luhur bangsa harus menjadi fondasi
dari setiap kebijakan, bukan sekadar slogan formal.
Kedua,
otonomi lokal dalam pengembangan kurikulum dan kebijakan pendidikan harus
diperluas, agar pendidikan benar-benar kontekstual dan relevan dengan kebutuhan
masyarakat setempat. Ketiga, negara harus kembali menegaskan perannya sebagai
pelindung hak pendidikan rakyat, bukan sebagai fasilitator pasar. Ini dapat
diwujudkan melalui alokasi anggaran pendidikan yang lebih merata dan
berkeadilan.
Keempat,
penguatan pendidikan karakter perlu dilakukan bukan sekadar melalui muatan
pelajaran moral, tetapi melalui integrasi nilai dalam seluruh proses
pembelajaran, interaksi sosial, dan ekosistem sekolah. Guru harus diberdayakan
sebagai agen transformasi nilai, bukan sekadar pelaksana administratif
kurikulum.
Penutup
Pendidikan
Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus melangkah dalam
kabut kebijakan yang tidak menentu arah, ataukah kita akan berhenti sejenak
untuk meninjau ulang peta jalan yang kita buat? Menyusun ulang arah pendidikan
bangsa adalah sebuah keniscayaan apabila kita ingin membentuk generasi yang
tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan
kokoh dalam jati diri kebangsaan. Jangan sampai, di tengah semangat perubahan,
kita justru tersesat dalam peta jalan yang tak lagi mengenali arah tujuannya
sendiri.
No comments:
Post a Comment