Saturday, May 31, 2025

Di hari lahirmu, Pancasila


                                             Di hari lahirmu, Pancasila

                                                    Bambang Aribowo


Di hari lahirmu, pancasila
kita berdiri di tengah upacara,
tapi lupa berdiri untuk mereka yang dipaksa bungkam oleh sistem.
Kita nyanyikan lagu kebangsaan,
tapi tak lagi mendengar jerit petani, buruh, dan anak-anak yang kelaparan di balik iklan pembangunan.

Pancasila
jika kau masih hidup,
maafkan kami yang membiarkanmu dibunuh pelan-pelan,
bukan oleh musuh dari luar,
tapi oleh rakus, oleh lupa, oleh diam.

Kami menulis namamu di dinding,
tapi membiarkan keadilan roboh di jalanan.
Kami ajarkan kau di sekolah,
tapi melupakanmu saat kekuasaan bisa dibeli.

Dan jika suatu hari kau pergi
bukan karena kalah,
tapi karena kami terlalu sibuk mencintai diri sendiri
maka jangan salahkan musuh,
salahkan kami yang memilih nyaman
daripada berjuang.


Pancasila tak akan mati,
tapi bisa ditinggal
Jika kita terus menutup mata.

Monday, May 19, 2025

Surat Cinta di Hari Kebangkitan nasional

                                            Surat Cinta di Hari Kebangkitan Nasional

                                                            Bambang Aribowo

Bangkit, katanya ....
Tapi alarmnya snooze dari zaman penjajahan
Bangun-bangun langsung buka TikTok,
nonton pejabat lipsync, janji pembangunan

Negeri ini kayak Wi-Fi publik
Lemot
penuh iklan
dan rawan disadap

"Negara hukum," katanya.
giliran rakyat nuntut,
dikatain baper dan kurang piknik.

Bangkit, katanya!
Tapi isi kepala disuruh full support NKRI,
sementara kantong rakyat
cuma bisa support cicilan pinjol.

Harga sembako naik kayak roller coaster,
tapi gaji rakyat?
masih kayak sisa kuota malam.

Oh Indonesia ....
negeriku yang katanya elok
di mana pemilu lebih heboh dari ujian nasional
tapi hasilnya
kayak beli barang flash sale
Datengnya telat
warnanya beda
dan TIDAK BISA dikembalikan.

Masa depan kita disimpan di folder "Nanti Aja",
dan rakyat disuruh update
versi sabar
tiap hari

Hari kebangkitan nasional, katanya!
Tapi yang bangkit justru
jumlah konten klarifikasi,
jumlah buzzer,
dan jumlah rakyat yang makin jago
ngopi pahit sambil ngeluh diam-diam

Ini bukan puisi marah
ini surat cinta
Surat cinta dengan nada tinggi
buat negeri yang terlalu sering pura-pura tidur
padahal bangunnya cuma buat selfie
bukan buat bersih-bersih kekacauan sendiri

Bangkitlah, Indonesia.

20 Mei 2025

Tuesday, May 13, 2025

Guru yang dirindukan

 



Guru yang Dirindukan

Bambang Aribowo

Di setiap sekolah, pasti ada satu sosok Guru yang beda. Bukan karena gaya bajunya yang nyentrik, bukan karena sering bagi-bagi hadiah seperti coklat atau permen, tapi karena hatinya selalu hadir dalam setiap pertemuan. Dia tidak hanya mengajar, tapi menghidupkan pelajaran itu sendiri.

Guru yang dirindukan itu bukan yang paling galak. Bukan juga yang paling gampang memberi nilai bagus. Tapi dia adalah yang paling tulus. Setiap masuk kelas, selalu ada aura hangat. Kadang dia nyeleneh, kadang absurd, kadang nyambungin pelajaran  sama anime atau drakor favorit murid-murid. Tapi dari situ justru pelajaran terasa dekat, dan maknanya jadi lebih nempel di hati.

Dia tahu kapan harus serius, kapan harus bercanda. Dia mengerti bagaimana rasanya jadi siswa yang lagi overthinking ngerjain tugas atau lagi badmood karena masalah rumah. Dia tidak selalu punya semua jawaban, tapi dia selalu mau mendengarkan. Dan itu cukup menyelamatkan banyak anak muda yang butuh tempat untuk sekadar dipahami.

Kehadirannya bukan sekadar mengisi absensi guru. Tapi mengisi ruang kosong di hati para siswa yang kadang merasa tidak cukup baik. Guru ini adalah yang mengajarkan tentang nilai hidup, bukan hanya nilai ujian. Yang membuat murid sadar, bahwa jadi manusia itu lebih penting daripada sekadar jadi “pintar”.

Dan ketika suatu saat dia tidak lagi mengajar, entah pensiun atau pindah. Kelas terasa hampa. Karena bukan cuma ilmunya yang hilang, tapi juga semangatnya, gelaknya, nasihat random-nya yang ternyata paling diingat.

Jika kamu pernah ketemu guru Seperti ini. Kamu beruntung.

Dan Jika kamu jadi guru yang seperti ini maka dunia pendidikan makin terang, karena kamu bukan sekadar guru. Kamu adalah inspirasi yang hidup.


Segitiga Pembelajaran Mendalam: Membangun Kolaborasi Bermakna antara Guru, murid, dan Orangtua.

 


                                             
Segitiga Pembelajaran Mendalam: Membangun Kolaborasi Bermakna antara Guru, murid, dan Orangtua.

Bambang Aribowo

     Di era yang serba cepat dan penuh tantangan seperti saat ini, pembelajaran tidak lagi cukup jika hanya berfokus pada penguasaan materi. Deep Learning menurut Mendikdasmen Abdul Mu'ti, adalah sebuah pendekatan pembelajaran yang inovatif dan fleksibel yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Deep Learning hadir dengan memadukan Olah pikir, Olah hati, Olah rasa, dan Olah raga.

 Mendikdasmen berharap bahwa pendekatan Deep Learning yang lebih humanis ini dapat membantu mengembangkan 8 dimensi profil lulusan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan, yaitu keimanan dan ketakwaan, kewargaan, penalaran kritis, kreativitas, kolaborasi, kemandirian, kesehatan, dan komunikasi.

Pembelajaran sejati adalah pembelajaran yang menyentuh hati, menghidupkan kesadaran, dan mengubah cara berpikir serta bertindak. Konsep ‘pembelajaran mendalam’ bukan hanya bicara soal seberapa jauh siswa memahami pelajaran, tapi juga seberapa dalam setiap pihak yaitu guru, murid, dan orang tua memahami peran mereka masing-masing dalam ekosistem pendidikan.

Saya menyebutnya sebagai Segitiga Pembelajaran Mendalam. Tiga titik penting yang saling berkaitan erat, membentuk sistem pembelajaran yang saling mendukung, saling menguatkan, dan saling tumbuh bersama. Guru, murid, dan orang tua adalah tiga aktor utama dalam proses belajar yang harus hadir secara utuh bukan sekadar secara fisik, tapi juga secara emosional dan spiritual.

Guru, dalam segitiga ini, bukan lagi sekadar penyampai informasi. Ia adalah pembimbing, fasilitator, bahkan teladan yang memancarkan nilai-nilai. Guru yang memahami perannya secara mendalam tidak hanya mengajarkan apa yang ada di buku, tetapi juga menanamkan nilai kehidupan, membangun relasi, dan menciptakan ruang aman bagi murid untuk bertumbuh. Guru hadir dengan empati, kesabaran, dan semangat untuk menghidupkan potensi dalam diri siswa.

Murid pun bukan lagi hanya objek pembelajaran. Murid adalah subjek aktif yang memiliki rasa ingin tahu, suara, dan tanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Murid yang menyadari perannya secara mendalam akan tumbuh menjadi individu yang reflektif, kritis, dan sadar tujuan. Mereka belajar bukan untuk nilai, tapi untuk makna. Bukan untuk sekadar lulus ujian, tapi untuk memahami kehidupan.

Dan orang tua mereka adalah pendamping abadi anak-anak mereka. Dalam segitiga ini, orang tua berperan sebagai pelengkap dan penguat proses belajar di rumah. Orang tua yang memahami perannya secara mendalam tidak akan menekan anak dengan harapan yang tidak realistis, tetapi hadir sebagai teman perjalanan yang empatik. Mereka mendengar, memahami, dan menyemangati, bukan hanya menilai dari angka-angka di rapor.

Ketika tiga peran ini dijalankan dengan kesadaran dan empati yang tinggi, maka terbentuklah sinergi luar biasa. Guru, murid, dan orang tua menjadi tim yang solid dalam menciptakan pengalaman belajar yang utuh dan bermakna. Inilah makna sejati dari Segitiga Pembelajaran Mendalam: pembelajaran yang menghidupkan, menyentuh, dan membebaskan.

Mari kita mulai dengan kesadaran. Kita refleksikan kembali peran kita dalam segitiga ini. Apakah kita sudah hadir secara mendalam? Apakah kita sudah benar-benar memahami kebutuhan dan potensi satu sama lain? Pendidikan yang besar lahir dari hubungan yang mendalam dan segalanya bermula dari kita sendiri.

Monday, May 12, 2025

Membaca Peta Jalan Pendidikan Indonesia


Membaca Peta Jalan Pendidikan Indonesia

                                                            Bambang Aribowo

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam konteks Indonesia, sistem pendidikan nasional tidak hanya bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, tetapi juga berperan sebagai instrumen strategis dalam mencetak generasi yang berkarakter, berdaya saing global, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan.

Ketika kita menelaah implementasi Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang dicanangkan untuk tahun 2025-2045, muncul sejumlah persoalan fundamental yang mengindikasikan bahwa bangsa ini tengah mengalami disorientasi arah dalam pengelolaan sistem pendidikannya. Ibarat pengelana yang kehilangan kompas, kebijakan pendidikan kita tampaknya berjalan tanpa arah yang konsisten dan berkelanjutan, sehingga dapat dikatakan kita "tersesat" di peta jalan yang kita buat sendiri.

Ketiadaan Arah Filosofis yang Konsisten

Salah satu aspek paling mendasar yang menunjukkan ketersesatan ini adalah tidak konsistennya pijakan filosofis dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pancasila, yang seharusnya menjadi dasar ideologis dan moral sistem pendidikan nasional, justru cenderung terpinggirkan dalam narasi besar peta jalan tersebut.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) dalam beberapa dokumen resminya lebih menonjolkan jargon-jargon seperti "Deep Learning", dan "Pembelajaran Koding", tetapi minim dalam merujuk nilai-nilai dasar seperti gotong royong, keadilan sosial, dan kebhinekaan yang merupakan esensi dari Pancasila.

Akibatnya, kebijakan yang lahir lebih berorientasi pada capaian-capaian pragmatis semata, seperti skor PISA (Programme for International Student Assessment) dan indeks literasi numerasi, daripada pembentukan karakter bangsa. Ini menciptakan jurang yang lebar antara visi pendidikan dengan realitas sosial bangsa yang kompleks dan majemuk. Hal ini tentu berbahaya karena mengaburkan tujuan utama pendidikan sebagai sarana pembudayaan dan pemanusiaan manusia Indonesia seutuhnya.

Sentralisasi Kebijakan dan Kemandulan Kontekstualisasi

Peta jalan pendidikan juga menunjukkan kecenderungan kuat pada sentralisasi kebijakan yang mengabaikan keragaman konteks lokal. Pemerintah pusat menetapkan standar yang seragam dari Sabang hingga Merauke, seolah seluruh peserta didik memiliki latar belakang, kebutuhan, dan kondisi sosial-ekonomi yang homogen. Dalam praktiknya, hal ini mengakibatkan kebijakan yang tidak sensitif terhadap persoalan struktural dan kultural yang dihadapi oleh sekolah-sekolah di daerah terpencil, perbatasan, maupun wilayah konflik.

Alih-alih memberdayakan otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan, peta jalan tersebut justru memperkuat posisi negara sebagai aktor tunggal dalam penentuan arah dan isi kurikulum. Padahal, sesuai dengan semangat desentralisasi pendidikan yang diamanatkan oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, penyelenggaraan pendidikan seharusnya melibatkan pemerintah daerah, komunitas lokal, dan bahkan masyarakat adat untuk menjamin keberlangsungan nilai-nilai lokal dalam proses pembelajaran.

 

Komersialisasi Pendidikan dan Ketimpangan Akses

Fenomena lainnya yang mencerminkan disorientasi peta jalan pendidikan Indonesia adalah meningkatnya komersialisasi pendidikan. Pendidikan telah bertransformasi menjadi komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai hak dasar warga negara. Ini tampak dari menjamurnya sekolah-sekolah swasta elit dengan biaya fantastis yang hanya dapat diakses oleh kelompok masyarakat ekonomi atas, sementara mayoritas rakyat masih bergelut dengan kualitas pendidikan publik yang minim sumber daya dan fasilitas.

Kebijakan zonasi atau sekarang disebut Domisili dan digitalisasi pembelajaran, meskipun berniat meratakan akses, sering kali justru memperdalam jurang ketimpangan. Di satu sisi, sekolah-sekolah unggulan di perkotaan semakin memperkuat posisinya sebagai institusi eksklusif. Di sisi lain, sekolah-sekolah di pelosok masih harus berjuang dengan keterbatasan infrastruktur, kekurangan guru, dan akses internet yang buruk. Peta jalan yang tidak secara eksplisit menjadikan keadilan sosial sebagai poros utama justru memperkuat logika pasar dalam pendidikan.

Krisis Identitas dan Lemahnya Pembinaan Karakter

Ironisnya, dalam semangat globalisasi yang diusung peta jalan, identitas kebangsaan peserta didik justru mengalami degradasi. Pendidikan karakter yang sempat menjadi program unggulan melalui Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), kini seolah kehilangan tempatnya dalam kurikulum. Tuntutan untuk mengejar literasi dan numerasi telah menyisihkan ruang bagi pembentukan nilai seperti integritas, toleransi, dan cinta tanah air.

Hal ini tercermin dalam meningkatnya perilaku intoleran, kekerasan di lingkungan sekolah, dan lemahnya sikap empati sosial di kalangan remaja. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang peradaban justru menjadi tempat reproduksi kekosongan nilai. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kita mengalami krisis identitas, di mana peserta didik tidak lagi memiliki ikatan kuat dengan akar budaya, sejarah, dan nasionalisme Indonesia.

Rekomendasi: Membaca Ulang Peta Jalan dengan Kacamata Kritis

Agar tidak terus-menerus tersesat, maka diperlukan pembacaan ulang terhadap peta jalan pendidikan nasional dengan pendekatan kritis dan reflektif. Pertama, perlu dilakukan reorientasi filosofi pendidikan yang secara eksplisit berakar pada nilai-nilai Pancasila. Artikulasi nilai luhur bangsa harus menjadi fondasi dari setiap kebijakan, bukan sekadar slogan formal.

Kedua, otonomi lokal dalam pengembangan kurikulum dan kebijakan pendidikan harus diperluas, agar pendidikan benar-benar kontekstual dan relevan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Ketiga, negara harus kembali menegaskan perannya sebagai pelindung hak pendidikan rakyat, bukan sebagai fasilitator pasar. Ini dapat diwujudkan melalui alokasi anggaran pendidikan yang lebih merata dan berkeadilan.

Keempat, penguatan pendidikan karakter perlu dilakukan bukan sekadar melalui muatan pelajaran moral, tetapi melalui integrasi nilai dalam seluruh proses pembelajaran, interaksi sosial, dan ekosistem sekolah. Guru harus diberdayakan sebagai agen transformasi nilai, bukan sekadar pelaksana administratif kurikulum.

Penutup

Pendidikan Indonesia berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus melangkah dalam kabut kebijakan yang tidak menentu arah, ataukah kita akan berhenti sejenak untuk meninjau ulang peta jalan yang kita buat? Menyusun ulang arah pendidikan bangsa adalah sebuah keniscayaan apabila kita ingin membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tangguh secara moral dan kokoh dalam jati diri kebangsaan. Jangan sampai, di tengah semangat perubahan, kita justru tersesat dalam peta jalan yang tak lagi mengenali arah tujuannya sendiri.

Di hari lahirmu, Pancasila

                                                         Di hari lahirmu, Pancasila                                                         ...